gkp.lagu-gereja.com        

Renungan GKP 2022
Minggu, 21 AGUSTUS 2022
Renungan GKP Minggu, 21 AGUSTUS 2022 - Yesaya 58:1-12 - MINGGU XI SESUDAH PENTAKOSTA
#tag:

MINGGU XI SESUDAH PENTAKOSTA
Minggu, 21 AGUSTUS 2022
Pembacaan Alkitab Yesaya 58:1-12
Nas Pembimbing Roma 12: 2
Mazmur 103:1-5
Pokok Pikiran Ibadah yang berkenan kepada-Nya
Nyanyian Tema PKJ 264
Pokok Doa
1. Kaum muda GKP
2. Pelayanan sosial media GKP sebagai sarana kesaksian
Warna Liturgis Hijau

Pembaruan Diri sebagai Wujud Ibadah Sejati

PENDAHULUAN
Pada tahun 2015, sebuah situs berita di Inggris mengungkapkan bahwa telah ada ribuan
tempat belanja Online di Inggris yang ditutup maupun diblokir. Hal tersebut disebabkan
karena banyak dari mereka menjual barang palsu dengan mengikuti berbagai merk
terkenal. Barang palsu tersebut memiliki kemiripan dengan barang yang asli, bahkan hingga
sulit dibedakan. Tidak jarang, para konsumen pun terjebak dalam membeli barang. Semakin
berkembangnya zaman, semakin canggih juga teknologi untuk membuat barang yang
serupa tapi dengan kualitas yang berbeda.

Kisah ini bukanlah sebuah hal yang asing kita dengar. Manusia sangat pintar untuk
menduplikasi barang dengan bentuk yang sangat mirip dengan bentuk yang aslinya. Akan
tetapi, banyak dari mereka hanya terfokus kepada bentuk yang sama, tanpa memikirkan
kualitas dari barang tersebut . Barang palsu dibuat karena banyak orang tidak dapat
memiliki barang yang asli, sehingga ketidakmampuan tersebut membuat orang-orang
menciptakan barang palsu. Tidak hanya barang palsu saja yang dapat manusia buat, tetapi
juga kesalehan. Manusia dapat dengan lihai membuat kesalehan palsu yaitu kesalehan yang
sangat mirip dengan kesalehan yang sesungguhnya, tetapi dengan kualitas kesalehan yang
berbeda. Hal tersebut manusia lakukan, karena manusia sedang berupaya untuk menutupi
ketidakmampuannya untuk menjadi orang yang saleh.

PENJELASAN BAHAN
Kitab Yesaya berisi tentang sejarah umat Allah pada masa pembuangan di Babel. Kitab ini
dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama (pasal 1-39) berbicara tentang kekudusan dan
kuasa Tuhan sebagai Raja seluruh dunia. Bagian kedua (pasal 40-55), berbicara soal
ungkapan yang disampaikan oleh Tuhan kepada umatnya yang mengalami pembuangan
maupun penghukuman. Tidak hanya itu, dalam bagian ini pun disampaikan bahwa Tuhan
menjanjikan harapan-harapan kepada umat-Nya dan ingin mengungkapkan bahwa hanya
Dialah Tuhan yang sesungguhnya. Bagian yang terakhir (pasal 56-66), berbicara tentang
janji Tuhan akan masa depan yang cerah kepada setiap umatnya yang setia kepada-Nya.
Dalam hal ini, yang mendapatkan janji itu bukan hanya merujuk kepada orang-orang

Yehuda, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain. Dalam bagian ketiga ini, tulisan yang ada
menggambarkan seperti jendela, di mana setiap orang dapat melihat masa di mana Tuhan
akan menciptakan dunia yang baru, yaitu dunia yang penuh dengan sukacita dan bebas dari
apa yang namanya penderitaan.

Fokus perhatian kita pada saat ini yaitu terdapat dalam Yesaya 58: 1-12, yang memang
berbicara mengenai kesalehan yang palsu dan kesalehan yang sejati. Menariknya, tolak ukur
kesalehan tersebut dinyatakan melalui sikap orang Kristen yang dikenal dengan Puasa.
Menurut Foster, puasa merupakan sebuah hal yang penting untuk diajarkan kepada setiap
orang yang percaya, terlebih khusus dalam pemahaman yang benar tentang puasa.15 Di
dalam puasa, seseorang sebenarnya sedang berupaya untuk memulihkan relasi dengan
Tuhan, itulah alasan mengapa orang perlu berpuasa sebagai bentuk kesungguhannya
kepada Allah. Tidak hanya itu, puasa pun dinilai sebagai bentuk upaya dalam memelihara
dan meningkatkan kualitas spiritualitas dalam diri manusia. Akan tetapi, menjadi sebuah
dilema, ketika puasa dalam hal ini, hanya dilakukan bukan lagi untuk menjaga kualitas
spiritualitas seseorang melainkan hanya sekadar sebagai sebuah ritual belaka.

Dalam Yesaya 58: 1-12, ekspresi kesalehan yang ditunjukkan oleh bangsa Israel adalah
berpuasa. Bagi mereka berpuasa merujuk kepada mencari Allah, mengenal jalan Allah,
melakukan yang benar, tidak meninggalkan hukum Allah, taat pada hukum yang benar, dan
terus menghadap Allah (ayat 2). Akan tetapi, sikap berpuasa yang mereka lakukan tidak
membuat Allah memperhatikan mereka (ayat 3). Apa yang sebenarnya membuat Allah
seolah-olah tidak memperhatikan mereka? Ketika mereka berpuasa, ternyata mereka masih
berupaya untuk mengurus urusan mereka sendiri, mendesak-desak buruh, berbantah,
berkelahi, bahkan memukul (ayat 3-4).

Ayat 5-7, Tuhan melalui nabi Yesaya mengungkapkan, bahwa berpuasa bukanlah hanya
sekadar ritual, tetapi memang sebuah praktik spiritual. Apa yang dimaksud dengan praktik
spiritual? Hal yang dimaksudkan yaitu membuka orang yang terbelenggu, melepaskan tali
untuk menghadirkan kemerdekaan bagi mereka yang teraniaya, memberikan makanan bagi
mereka yang lapar, memberikan tempat bagi mereka yang terlantar, bahkan memberikan
pakaian bagi mereka yang telanjang. Oleh karena itu, ketika berbicara sebagai orang
beragama yang saleh, artinya bukan hanya sekadar melakukan sebuah tindakan untuk
kepentingan pribadi, tetapi juga untuk menunjukkan kemahakuasaan Allah dalam
kehidupan sesama. Berpuasa memang upaya untuk memulihkan relasi antar manusia
dengan Tuhan, tetapi, apakah relasi dengan Tuhan bisa dipulihkan, jika relasi kita dengan
sesama saja tidak baik.

Kesalehan yang tampak dari pribadi orang-orang Israel adalah kesalehan yang hanya
tampak dari luar, tetapi sebenarnya tidak tampak di dalam. Kesalehan yang mereka lakukan
hanyalah sebuah bentuk menutupi ketidakberdayaan mereka sebagai manusia. Padahal,
sebenarnya, Tuhan menghendaki kesalehan yang memang muncul bukan hanya sekadar
tampak dari luar, tetapi memang muncul dari kesadaran di dalam hati. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kesalehan yang palsu merupakan sebuah bentuk pencitraan, tetapi
jika bicara soal kesalehan sejati, ini bicara tentang citra Allah yang muncul dalam setiap laku
kehidupan manusia. Ketika kehidupan kita sudah benar-benar menjadi citra Allah di dunia
yang terus menghadirkan pemulihan, maka pada saat itulah hidup kita diibaratkan seperti
fajar yang menerangi dunia. Oleh karena itu, Tuhan pun akan menghadirkan kebenaran
yang menjadi barisan depan kehidupan kita, bahkan kemuliaan Tuhan pada barisan
belakang kehidupan kita (ayat 8-10).

Kristus menghendaki setiap orang itu hidup dalam kesalehan, tetapi bukan dalam kesalehan
palsu, melainkan kesalehan sejati. Apa maksudnya? Kristus menghendaki agar hidup kita ini
benar-benar memberikan dampak bagi kehidupan bersama. Spiritualitas seseorang tidak
hanya dibilang baik, ketika dia berpuasa, tetapi spiritualitas seseorang dapat dikatakan baik,
ketika dia pun peka dan peduli terhadap realitas kehidupan yang ada. Kesalehan yang sejati
adalah sikap manusia yang membangun kepedulian dan belas kasihan kepada orang lain. Di
dalam kepedulian dan kepekaan yang kita bangun, Tuhanlah yang akan menuntun dan
memuaskan hati kita dan bahkan membaharui setiap pribadi kita (ay.11). Dengan
kemahakuasaan Allah, kita tidak lagi menjadi pribadi yang lemah, karena Tuhan akan
menjadikan kita sebagai seseorang yang benar-benar menghadirkan pemulihan secara utuh.
Manusia bukan lagi disebut lemah, tetapi disebut sebagai “yang memperbaiki tembok yang
tembus”, “yang membetulkan jalan supaya tempatnya dapat dihuni”. Ungkapan tersebut
mau mengatakan bahwa Tuhan dapat membaharui hidup kita dengan kasih setia-Nya
(ay.12). Dia datang untuk mengingatkan kita dalam kesungguhan dan komitmen kita
sebagai orang yang percaya. Oleh karena itu, ketika Tuhan benar-benar hadir untuk
membaharui kita, apakah kita sudah membuka diri untuk juga dibaharui? Jangan sampai,
ketika Tuhan hadir membaharui diri kita, kita hanya membuka diri dalam sebuah kepalsuan,
melainkan seharusnya kita membuka diri dengan sebuah ketulusan.

POKOK PIKIRAN
1. Allah memiliki kuasa atas seluruh kehidupan manusia. Allah menuntun setiap
umat-Nya untuk terus memperbaharui diri dalam sikap dan perbuatan. Kasih
dan kesetiaan Tuhan dalam hidup kita seharusnya membuat kita sebagai pribadi
maupun persekutuan sadar, bahwa relasi kita dengan Tuhan tidak akan benarbenar pulih dan baik, jika relasi yang kita dengan sesama saja masih berantakan.

2. Kesalehan sejati adalah sesuatu yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita, yaitu
kehidupan kita yang tidak lagi melakukan segala sesuatunya dalam kepalsuan,
tetapi dalam sebuah keorisinalitasan. Keorisinalitasan seorang Kristen dapat
terlihat bukan hanya sekadar dalam sikap manusia berpuasa, tetapi dalam sikap
membangun kasih dan terus berupaya menghadirkan kebaikan dengan sesama.

3. Ibadah yang sejati bukanlah ibadah yang dilakukan untuk mencari kepentingan
dan keuntungan pribadi. Ibadah sejati bukanlah sebuah ritual belaka yang
dilakukan secara rutin. Ibadah sejati adalah sebuah sikap yang berkenan kepada
Allah yaitu yang muncul dari dalam hati secara sungguh untuk terus
menghadirkan terang di tengah-tengah kegelapan yang ada. Oleh karena itu,
gereja terus dipanggil oleh Tuhan untuk senantiasa dibaharui oleh Allah,
sehingga apa yang ada dalam kehidupan gereja, semua itu berkenan kepadaNya.
(ESN)








Daftar Label dari Kategori Renungan GKP 2022





NEXT:
Renungan GKP Minggu, 28 AGUSTUS 2022 - Terlalu Sibuk untuk Tuhan? - Yeremia 2:1-13 - MINGGU XII SESUDAH PENTAKOSTA



PREV:
Renungan GKP Minggu, 17 AGUSTUS 2022 - Mazmur 80:1-4 - HUT KEMERDEKAAN KE77 REPUBLIK INDONESIA

Arsip Renungan GKP 2022..

Register   Login