gkp.lagu-gereja.com        

Renungan GKP 2022
Minggu, 7 AGUSTUS 2022
Renungan GKP Minggu, 7 AGUSTUS 2022 - Kejadian 15:1-6 - MINGGU IX SESUDAH PENTAKOSTA
#tag:

MINGGU IX SESUDAH PENTAKOSTA
Minggu, 7 AGUSTUS 2022
Pembacaan Alkitab Kejadian 15:1-6
Nas Pembimbing Kejadian 15:6
Mazmur 33:10-22
Pokok Pikiran Iman yang diperhitungkan Allah
Nyanyian Tema PKJ 128
Pokok Doa
1. Keadilan bagi masyarakat adat dan penghayat di Indonesia (Hari Masyarakat Adat 9 Agustus)
2. Pengembangan pelayanan berbasis budaya di GKP
Warna Liturgis Hijau


Iman yang Benar

PENDAHULUAN
“Kini aku percaya tiada yang mustahil bagi-Mu, Kuasa-Mu kuatkanku, dasarku berharap”, ini
adalah penggalan lagu rohani yang berjudul Sampai Akhir Hidupku. Kalimatnya jelas
mengungkapkan kepercayaan pada kuasa Tuhan yang tidak terbatas. Kuasa-Nya akan
melampaui hal-hal yang mustahil di hadapan manusia. Lagu ini tentu akan sangat mengena
untuk orang-orang yang sedang dalam pergumulan dan hampir putus asa. Menurut
pengalaman, ada dua jenis orang dalam menghadapi pergumulan hidupnya. Pertama, ia
akan mencari kekuatan ke mana saja, kepada siapa saja, kapan saja, agar pergumulannya
terselesaikan atau keinginannya terpenuhi. Hasil yang tidak sebanding dengan usahanya
tentu tidak jarang membuatnya meragukan kuasa Tuhan. Kedua, orang yang tahu ke mana
ia membawa pergumulannya itu, yaitu Tuhan. Ia akan selalu yakin bahwa Tuhan akan
berkuasa atas segala pergumulannya dan akan melampaui keterbatasannya sebagai
manusia, dan inilah iman.

Kejadian 15:1-6, menceritakan kisah Abram, hamba Tuhan, yang mempunyai teladan iman
bagi kita yang hidup di masa kini. Pergumulan dari masa ke masa terus berubah. Ada yang
sederhana dan mudah diatasi, namun ada yang membuat kita kelelahan dan hendak
menyerah pada kehidupan ini. Akan tetapi, kisah Abram membantu kita untuk kembali
merenungkan betapa baiknya Tuhan dalam hidup kita. Tuhan juga menginginkan kita untuk
terus maju bersama dengan Ia yang selalu memperlengkapi kita.

PENJELASAN BAHAN
Bagian Alkitab ini merupakan percakapan yang sangat hangat antara Tuhan dan Abram.
Melalui percakapan tersebut kita bisa melihat betapa karibnya Tuhan dengan pribadi
Abram. Tuhan yang sungguh baik telah memilih Abram untuk menjadi kaki tangan-Nya.
Tuhan memilih Abram dan keluarganya untuk melakukan misi besar dan rencana-Nya. Pada
ayat 1, dikatakan bahwa Tuhan akan memberikan upah kepada Abram yang telah siap sedia
dan setia dalam menjalankan misi-Nya. Di sinilah percakapan yang hangat dimulai. Abram
mengajukan pertanyaan retoris kepada Tuhan, untuk apa segala upah yang akan Tuhan berikan karena segalanya itu tidak bisa diwariskan pada keturunan Abram.

Sara, istri Abram, adalah perempuan mandul yang telah menginjak usia tua. Kemungkinan untuk mengandung seorang anak tentu sangat kecil bahkan tidak ada. Pada konteks saat itu, ahli waris adalah anak laki-laki dan ketika sepasang suami istri tidak mempunyai anak, masyarakat memandang itu sebagai kutukan. Penilaian ini juga dijatuhkan pada Abram dan Sara. Bisa dikatakan, Abram sebagai hamba Tuhan tetap merasa kurang karena ia tidak memiliki anak.

Ini merupakan momen Abram menyampaikan kepedihannya sekaligus berkeluh kesah
tentang apa yang dirasakannya sebagai bapak yang tidak mempunyai keturunan. Abram
juga menyampaikan rencananya di tengah keadaan tersebut. Kita melihat di sini Abram
tidak mempunyai anak dan segala yang ia punya akan diberikan pada budaknya yaitu Eleizer
dari Damaskus. Bagaimana Tuhan merespons Abram? Tuhan tidak menyetujui jika Eleizer
yang akan menjadi ahli waris Abram (Ay. 4). Ketidaksetujuan Tuhan diikuti dengan kabar
baik untuk Abram dan keluarganya. Allah berjanji akan memberikan Abram seorang anak
yang akan menjadi ahli warisnya. Bahkan bukan hanya anak, kelak Abram akan mempunyai
keturunan sebanyak bintang-bintang di langit yang tidak dapat dihitung. Dalam ayat 6
disebutkan, Abram percaya pada janji Tuhan yang telah didengarnya itu. Sungguh
percakapan yang hangat bukan? Lalu apa yang bisa kita maknai dari kisah ini?

Pertama, ketika kita menjaga relasi dengan Tuhan, Ia akan melengkapi kita. Dalam
percakapan ini tentu Abram sedang dalam kepedihan dan tentu mempunyai anak adalah hal
yang sangat sulit terjadi karena Sara mandul. Akan tetapi, di tengah sedihnya Abram, Tuhan
menghibur yaitu berjanji akan memberikan Abram keturunan. Tuhan hadir dan mendengar
seruan hamba-Nya, Ia juga melihat apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya. Relasi Abram dan
Tuhan mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana relasi yang telah kita jalin dengan
Tuhan? Seberapa percayanya kita untuk berseru pada-Nya? Apakah kita merasakan Tuhan
menghibur di kala sedih? Apakah kita sadar akan cara Tuhan memperlengkapi kita di setiap
tahap-tahap kehidupan ini? Seperti Abram yang dilengkapi sebagai orang tua yang akan
mempunyai keturunan. Kita juga tahu bahwa anak Abram akan dipakai juga dalam rencanaNya.

Kedua, Abram percaya pada janji Tuhan. Hal menariknya adalah Abram mempercayai Tuhan
padahal apa yang dijanjikan oleh-Nya belum terjadi dan dialami oleh Abram. Di hadapan
manusia, janji Tuhan tersebut adalah hal besar dan berat. Inilah yang disebut dengan iman,
yaitu kepercayaan yang begitu kuat pada Tuhan yang tidak ditentukan oleh pengalaman.
Segala yang terlihat maupun yang tidak terlihat, segala yang terasa maupun tidak terasa,
segala yang telah dialami maupun yang belum dialami, tidak menjadi syarat atas iman.
Tentunya kepercayaan Abram pada Tuhan tidak lepas dari relasi yang telah terbangun. Anak
yang dijanjikan Tuhan memang belum lahir, Abram belum pernah merasakan mempunyai
anak, tetapi Abram telah merasakan kasih Tuhan melalui perbuatan-perbuatan-Nya. Sesuatu
yang mustahil baginya akan menjadi nyata ketika Tuhan mau melakukan itu untuk Abram.

Ketiga, Tuhan memperhitungkan iman Abram sebagai kebenaran di hadapan-Nya. Ayat 6 ini sangat menarik karena respons Abram terhadap janji Tuhan itu membuat dirinya diperhitungkan oleh Allah. Ada dua kata yang akan kita sorot yaitu “diperhitungkan” dan “kebenaran”. Kata “diperhitungkan” berasal dari kata kashav yang artinya menghitung, mencatat dengan seksama, menyusun dengan cermat, ” yaitu kepercayaan Abram kepada janji Tuhan yang dinilai sebagai kebenaran. Artinya Tuhan sangat memperhatikan kepercayaan Abram. Ya! Tuhan mencatat Abram sebagai orang benar. Sementara “kebenaran” berasal dari kata tsedaqah yang artinya secara luas adalah keadilan,  kebenaran, pembenaran, atau dalam bahasa Ibrani modern sebagai amal (tindakan membagi berkat).

 Ini juga membantu kita untuk merefleksikan apakah iman kita benar di
hadapan Tuhan? Apakah ketika kita beriman pada-Nya, kita juga menjadi berkat untuk yang
lain? Kepercayaan Abram lebih dari sekedar mengiyakan, ia sangat menghayati Firman
Tuhan, bahwa semua yang Tuhan sampaikan ia yakini akan terjadi.
Dari tiga poin ini, kita belajar betapa pentingnya kita (manusia yang serba terbatas ini)
terhubung pada Tuhan yang tidak terbatas. Cara terhubung dengan-Nya adalah memberi
diri untuk dipakai Tuhan dalam misi-Nya, menyadari perbuatan-Nya dari hal kecil hingga luar
biasa, dan yang terpenting adalah beriman pada Tuhan Sang Penenun hidup ini.

POKOK PIKIRAN
1. Tuhan memilih kita untuk dipakai-Nya, Tuhan juga yang akan melengkapi kita. Ketika kita diberikan sebuah tanggung jawab dalam rencana-Nya, apakah kita cukup percaya Tuhan akan melengkapi kita? Tentu harus percaya. Tuhan telah hadir dalam hidup kita sejak awal, ia terus berkarya dan berbuat menurut kehendak-Nya. Tidak ada kehendak-Nya yang buruk untuk kita. Semua kehendak-Nya pasti membawa kebaikan dalam hidup kita. Maka dari itu, ketika ada hal yang belum terjadi dalam hidup kita atau pun hal-hal yang mustahil, iman akan membuat kita yakin bahwa di dalam Tuhan itu tidak ada yang mustahil. Apakah kita menyadari perbuatan Allah di dalam hidup kita itu sangat besar, sangat berdampak, dan melengkapi kita? Abram mempercayai perkataan Tuhan bukan sebagai omong kosong belaka, tetapi sebagai kejadian yang sungguh akan terjadi.

2. Iman menggerak kita untuk terus menjadi benar di hadapan Tuhan. Iman bukan sebatas pengakuan di mulut. Tetapi iman adalah bagaimana kita menghayati bahwa Allah itu akan melakukan sesuatu yang besar dalam hidup kita. Sekalipun pada saat ini, kita belum mampu merasakan, melihat, dan mengalaminya dengan kemampuan manusia kita. Masalah akan selalu berubah, tetapi biarlah iman pada Tuhan tetap menyala. Banyak yang kenal Tuhan, tetapi tidak semua beriman pada-Nya. Iman membuat kita merasa aman, terpelihara, tidak kekurangan dan selalu dijaga olehNya, sehingga mendorong kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang benar dan bermanfaat untuk kehidupan ini. Iman menggerakkan kita untuk menjadi
berkat untuk sesama ciptaan. (ENB)







Daftar Label dari Kategori Renungan GKP 2022





NEXT:
Renungan GKP Minggu, 14 AGUSTUS 2022 - Yesaya 5:1-7 - MINGGU X SESUDAH PENTAKOSTA



PREV:
Renungan GKP Minggu, 31 JULI 2022 - Mazmur 107-1-9 - MINGGU VIII SESUDAH PENTAKOSTA -

Arsip Renungan GKP 2022..

Register   Login